Tuesday, February 20, 2007

GONJANG-GANJING PRODUK WSF ATAU NS

Azwar Maas

Tergelitik oleh ditemukannya dan disebarluaskannya suatu produk yang dinamai WSF atau NS oleh Umar Hasan Saputra yang mampu meningkatkan hasil padi secara nyata dengan biaya produksi yang lebih murah, saya berkeinginan untuk juga urun rembuk.
Produk ini tengah ramai diperbincangkan di tingkat nasional, baik dari kalangan produsen, perguruan tinggi, pemerintah atau Departemen Pertanian, maupun Dewan dengan segala argumennya.
Saya coba menelaah dari segi proses dan mekanismenya yang semoga dapat dijadikan bahan pertimbangan lanjut bagi kehidupan petani ke depan dan yang lebih penting lagi adalah ke arah konsep sustainable agriculture.
Filosofi kehidupan di alam yang diciptakan Yang Maha Kuasa intinya berupa proses transformasi pembentukan dan penguraian dan translokasi, atau berubah bentuk dan beralih tempat.
Menurut kaidahnya, tidak ada ciptaan baru dan tidak ada kehilangan suatu molekul pun yang terjadi di bumi ini. Hal ini berarti semua kehidupan di bumi kita ini tidak lepas dari kaidah tersebut.
Moto pertanian lestari adalah berikan atau kembalikan ke tanah minimal sebanyak yang terangkut keluar melalui hasil panen. Tanaman mengambil hara dari sistem perakaran (dapat juga dari udara misalnya N, dan dan melalui fotosintesis) sesuai dengan kebutuhan.

Laporan
Menyimak dari laporan Litbang Deptan bahwa untuk produksi padi 9 ton/ha seperti yang dilaporkan oleh pihak WSF/NS akan menyedot hara dari lingkungannya sebesar 171 kg/ha N, 54 kg/ha P> dan 175 kg/ha.


Dengan demikian, saya setuju sekali bahwa sisanya diambil dari dalam tanah yang tanpa pasokan dari luar akan menguras apa yang ada di dalam tanah. Suatu stimulan memang merangsang pertumbuhan (ibarat obat perangsang pada manusia atau hewan yang bisa diberikan terus-menerus dapat menyebabkan kematian) secara agresif akan mengambil sumber hara dari dalam tanah yang bila ketersediaannya terbatas (tidak sesuai kebutuhan) akan segera menampakkan gejala defisiensi.

Apalagi kalau perlakuan yang sama dikerjakan untuk pertanaman berikutnya. Peneliti lain memperlihatkan bahwa limbah rumah potong (terutama darahnya) dapat berperan sebagai stimulan dan merangsang pertumbuhan tanaman semusim secara nyata.
Ternyata hal itu tidak terjadi bila tanaman tersebut ditanam pada tanah tanpa kandungan hara yang cukup (tanah pasir atau tanah tua/podsolik).
Batuan alam yang digerus halus (misalnya abu vulkan BPPT) dapat meningkatkan kandungan hara tanah dan memacu kegiatan mikrobia tanah, tetapi sebagai bahan pembenah tanah diperlukan takaran lebih besar 20 ton/ha agar dapat menyumbang hara yang mencukupi kebutuhan tanaman (lahan gambut).
Bilamana pemberian serbuk NF yang menurut informasinya berasal dari batuan andesitik atau basaltik (batuan jenis apa belum diinformasikan) yang ada di alam, maka kandungan aluminium dan silisiumnyalah yang akan dominan (lebih besar 85 persen). Dengan demikian, wajar bila kandungan hara esensial akan sangat rendah. Kemungkinan serbuk ini menyumbang hara sangatlah kecil, apalagi bila diberikan dalam takaran rendah.
Ketersediaan hara di dalam tanah berada pada fraksi clay dan bahan organik serta oksida/hidroksida besi dan aluminium. Pada tanah yang kaya clay dan bahan organik, masalah pengurasan tidak dirasakan secara langsung, tetapi bila tanahnya tidak banyak mengandung clay dan bahan organik akan lain ceritanya.

Era lampau
Petani di era lampau dengan sistem perladangan berpindah dimaksudkan untuk meningkatkan kembali kandungan hara dan bahan organik tanah dengan selang waktu 5-15 tahun untuk digarap selama 1-2 kali pertanaman yang berakhir dengan merosotnya kembali hara dan bahan organik tanah.
Bahan stimulan dapat merangsang kegiatan mikrobia untuk merombak bahan organik tanah secara cepat dan melepaskan hara yang seharusnya terjadi secara perlahan, pemacuan akan berlangsung hanya dalam waktu relatif pendek (lebih kurang satu musim tanam). Kandungan bahan organik dapat turun dengan drastis sehingga fungsinya sebagai penggembur tanah menjadi berkurang, tanah mudah terdispersi sehingga rentan terhadap erosi.
Tim IPB dan Badan Litbang Deptan telah diminta secara serius menelaah dan menilai peran produk ini lebih lanjut. Tampaknya kedua institusi masih meragukan atau tidak mendapatkan keandalan produk WSF/NS setelah mengadakan peninjauan lapangan atau mengadakan analisis kandungan bahan yang ada di dalam produk tersebut.

Terlibat
Sepengetahuan saya, tenaga ahli yang terlibat di dalam tim tersebut secara ilmiah tidak perlu diragukan lagi. Kebijakan Deptan untuk segera memberikan rekomendasi pengembangan produk WS/NF sudah sepatutnya mendapat acungan jempol.
Untuk lebih konkretnya, saya mengimbau agar diadakan suatu seminar atau lokakarya ilmiah yang mempertemukan semua pemangku kepentingan (stakeholder) yang masing-masing membawa hasil telaahan, bila diperlukan petani ataupun pemerintah sebagai penentu kebijakan dapat dilibatkan dalam seminar tersebut.
Tidak ada sesuatu yang perlu disembunyikan oleh produsen (terutama penemu), bahkan kalangan ilmiah akan sangat mendukung bilamana ada penalaran yang baik dapat diungkapkan.
Kesimpulan dari hasil seminar ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan untuk penentuan kebijakan lebih lanjut. Asas demokrasi yang dianut sistem kepemerintahan dewasa ini diuji kebenarannya.
Untuk itu perlu disarankan, uji lebih rinci dari formulasi bahan, misalnya, kandungan enzimatik atau hormon, perangsang, atau zat pengatur tumbuh, mikrobia yang mungkin terkandung di dalamnya.
tempat uji terdahulu supaya dianalisis kandungan haranya. Ada kemungkinan ketersediaan hara di areal uji coba memang tidak bermasalah atau telah terjadi penimbunan hara akibat pemupukan terus-menerus menjadi bentuk kurang ketersediaan (accluded) di dalam tanah.
uji di tempat yang bukan merupakan areal sawah intensif, misalnya sawah tadah hujan, atau lahan yang bermasalah, antara lain lahan pasir, tanah tua (podsolik yang ada di sekitar Bogor/Jasinga).

Prof Dr Azwar Maas Ketua Laboratorium Pedologi Fakultas Pertanian UGM.

No comments: